Minggu, 12 Juli 2015

Pengetahuan Hadits Maudhu


Hadits Maudhu
Bandung, 23 Februari 2015
Penulis: Firdaus Akmal Azam

Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam. Allah menitipkan segala sesuatu ilmu di dalamnya dan menjelaskan jalan yang benar dari pada yang sesat. Akan tetapi sering sekali isi Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang bersifat mujmal tidak mufashal. Contohnya perintah shalat, Alqur’an membawanya secara mujmal, tidak menerangkan bilangan rakaatnya, tidak menerangkan syarat, dan rukunnya. Oleh karena itu, salah satu kehadiran hadits berfungsi sebagai bayan tafsir terhadap ayat-ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits, umat Islam tidak mampu menangkap atau merealisaiksan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-qur’an secara mendalam. Ini menunjukkan hadits, menduduki posisi yang sangat penting dalam literatur sumber hukum Islam.
Meskipun mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar sebagai sumber ajaran setelah Al-Qur’an, namun sebagaimana pada awal Islam diperintahkan oleh Nabi, hadits tersebut untuk dihafal dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya, tidak menyelenggarakan penulisan secara resmi seperti penulisan Al-Qur’an, kecuali penulisan secara perorangan. Pembukuan resmi hadits-hadits Nabi, baru dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui perintahnya kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm tahun 100 H.
Kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasull SAW dengan waktu pembukuan hadits merupakan kesempatan bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk melakukan pemalsuan hadits dengan motif tertentu dan mengatas namakan Rasull SAW yang padahal beliau tidak pernah mengatakan atau melakukan.
Tulisan “ Hadits Maudhu” ini akan membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan hadits palsu  atau hadits Maudhu seperti pengertian, sejarah, ciri-ciri dan cara ulama memberantas hadits maudhu.





1.    Pengertian Hadits Maudhu
Secara lughah (bahasa), Hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari wadha’a-yadha’u yang memiliki beberapa makna, antara lain menggugurkan, meninggalkan, dan mengada-adakan (Muhammad ajjaz al-khatib, 2003 : 352). Adapun pengertian hadits maudhu ‘menurut istilah para muhaditsin adalah “sesuatu yang dinisbatkan kepada Rosulallah Saw secara mengada-mengada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun taqrirkan”.
     Dari pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw., baik perbuatan, perkataan, maupun taqrir-nya, secara rekaan atau dusta semata-mata. Jadi, sebenarnya, hadits maudhu’ bukan hadits. Dalam penggunaan masyarakat islam, hadits maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu (Abdul Fatah Gaudha, 2000:41)
     Definisi lain tentang hadits maudhu’ adalah “hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rosulullah Saw. Secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak”.(Muhammad Abu Rayyah, 1999 : 199)
     Dalam definisi yang relative sama tentang hadits maudhu’ yaitu:
1.  Menurut bahasa: merupakan isim maf’ul dari kata wadla’a assyaia, berarti menurunkanya derajatnya. 
2.  Menurut istilah: Dusta yang dibuat-buat dan direkayasa, kemudian dinisbahkan kepada Rosulallah Saw.
Kata-kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu’, adalah al-mukthtalaqu, al-muhtala’u, dan al-makdzub. Kata tersebut memilki arti yang hampir sama. Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid) bahwa hadits semacam ini semata-mata dusta atas nama Rosulallah Saw. (Utang Ranuwijaya,1996:189)
Dalam referensi lain dikemukakan, pengertian hadits maudhu’ menurut lughat adalah suatu hadits yang diada-adakan orang atas nama Nabi Muhammad Saw. Dengan sengaja atau tidak disengaja. Secara terminologi, menurut ulama hadits bahwa hadits maudhu’ adalah sesuatu yang dinisbatkan Rosulallah Saw. Secara mengada-ada dan dusta, dan beliau tidak menyabdakan atau mengerjakan atau men-taqrir-kan. Dengan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hadits maudhu’ itu sebenarnya bukan hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. (bukan hadits Nabi), hanya disandarkan kepada Nabi. (Abdul Qadir Hasan,2002:120).
Hadits maudhu’ berasal dari kata dari dua suku kata bahasa Arab yaitu al-hadits dan al-maudhu’. Al-hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti baru (al-jadid) dan cerita (al-khabar). Kata al-maudhu’, dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a -yadha’u - wadha’n wa maudhu’an – yang memilki beberapa arti antara lain telah menggurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, membuat, menanggalkan, menurunkan dan lain-lainya. Arti yang paling tepat disandarkan pada kata al-maudhu’ supaya menghasilkan makna yang dikehendaki yaitu telah membuat. Oleh karena itu maudhu’ (di atas timbangan isim maf’ul- benda yang dikenai perbuatan) mempunyai arti yang dibuat.
Berdasarkan pengertian al-Hadits dan Al-maudhu’ ini, dapat disimpulkan bahwa definisi hadits maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta. Lebih tepat lagi ulama hadits mendefinisikanya sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi Muhammad Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja.
Jika dianalisis, berbagai definisi diatas menyiratkan hal sama, bahwa hadits maudhu’ adalah suatu hadits rekaan, ciptaan, yang kualitasnya sangat rendah. Semua itu disandarkan kepada Nabi. Padahal Nabi Saw tidak pernah menyampaikanya dalam hadits –hadits yang sebenarnya. Jadi, sesungguhnya hadits palsu bukanlah hadits yang bersumber dari Nabi Saw. Hadits palsu merupakan kebohongan yang dibuat-buat dan terancam dengan ancaman neraka, sebagaimana hadits Nabi Saw.
Dalam Referensi lain juga disebutkan secara bahasa, kata mawdhu’ berarti sesuatu yang digugurkan (al-masqath), yang ditinggalkan (al-matruk), dan diada-adakan (al-muftard).
Menurut istilah, hadis mawdhu’ adalah pernyataan yang dibuat oleh seseorang kemudian dinisbahkan pada Nabi SAW. Hadis mawdhu’ itu dicipta dan dibuat-buat, kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta baik secara sengaja maupun tidak. Dengan kata lain, hadis mawdhu’ dibuat dan dinisbahkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.
ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و السلام إختلافا و كذبا ممّا لم يقله أويقره
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya.
Dr. Mahmud Thahan didalam kitabnya mengatakan,
اذا كان سبب الطعن فى الروى هو الكذ ب على رسول الله فحد يثه يسمى الموضع
Apabila sebab keadaan cacatnya rowi dia berdusta terhadap Rasulullah, maka haditsnya dinamakan maudhu’. ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)
Dan pengertiannya secara istilah beliau mengatakan
هو الكذب المختلق المنصوع المنسوب الى رسول الله صلى الله عليه والسلام
Hadits yang dibuat oleh seorang pendusta yang dibangsakan kepada Rasulullah[1].
Ulama berbeda pendapat tentang sengaja atau tidaknya pembuatan hadis itu. Umar  ibn Hasan, Utsman Fallatah dan Mahmud Abu Rayyah menyatakan bahwa hadis mawdhu itu dibuat baik dengan sengaja ataupun tidak. Abu Bakar Abd al-Shamad Abid, dan Ibn Taymiyyah seperti dikutip Umar ibn Hasan Utsman Fallatah mengemukakan bahwa hadis mawdhu’ adalah hadis yang dibuat dengan sengaja dan kalau tidak, bukan palsu[2].
2.    Sejarah Munculnya Hadits Maudhu
Secara historis, sepeninggal Nabi Saw, di kalangan masyarakat muslim terjadi perpecahan. Perpecahan kaum muslimin menjadi beberapa kelompok terutama terjadi setelah fitnah besar, yakni masa setelah terbunuhnya Ustman bin Affan. Hal ini menjadikan setiap kelompok mencari dukungan dan sumber rujukan dari Al-Quran dan As-sunah. Sebagian kelompok men-takwil-kan hadits mereka menisbatkan kepada Nabi. Apalgi tentang keutamaan para imam mereka. Dan kelompok yang pertama melakukan hal itu adalah Syi’ah. Hal ini tidak pernah terjadi pada masa Rosulallah dan tidak pernah dilakukan seorang sahabat pun. Apabila diantara mereka berselisih mereka ber-ijtihad, dengan mengedepankan mencari kebenaran.
Tahap penyebaran hadits-hadits maudhu’ pada zaman tersebut masih sedikit disbanding zaman-zaman berikutnya. Ini karena masih banyak para tabiin yang menjaga hadits-hadits dan menjelaskan mana yang lemah dan mana yang shahih. Ini juga karena zaman mereka masih dianggap hamper sama dengan zaman Nabi Saw dan disebut oleh beliau sebagai diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan para tabiin yang menyebabkan mereka dapat mengetahui kepalsuan sebuah hadits, hadits Nabi yang belum terhimpun dan terkodifikasi dalam satu kitab, dan kedudukannya yang sangat penting dalam kontruksi ajaran Islam merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan Hadis banyak dipalsukan dan ini telah dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab oleh orang-orang tertentu. Sedangkan kapan muncul pemalsuan Hadis terdapat perdebatan tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan Hadis, pemalsuan Hadis telah terjadi dizaman Nabi. Pendapat ini antara lain yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (w. 1337 H /1954 M). Alasan yang dikemukakan olehnya ialah Hadis mutawatir yang artinya:
“barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya (bagiannya) di neraka” (Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam al-Bukahri, Muslim, dan lain-lain)
Menurutnya, isi Hadis tersebut telah memberikan suatu gambaran, bahwa kemungkian besar pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuan Hadis. Menurutnya, sabda Nabi tersebut bersifat responsif. Maksudnya, ultimatum tersebut muncul sebagai respon atas suatu kejadian yang telah terjadi, yaitu adanya pemalsuan Hadis. Namun ia tidak memberikan bukti-bukti kuat tentang pendapatnya itu, misalnya contoh Hadis palsu yang telah terjadi pada masa Nabi. Dia menyandarkan pendapatnya hanya pada praduga yang tersirat (mafhum) dalam sabda Nabi diatas.
Pendapat Ahmad Amin tersebut dinilai lemah oleh sejumlah pakar Hadis, karena pendapat ini tidak didasarkan pada fakta empiris. Hadis yang dikemukakan oleh Ahmad Amin memang berkualitas mutawatir dan sudah pasti mempunyai bobot akurasi tinggi (qat’î) dan pasti benar. Akan tetapi Hadis tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen bahwa pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuan Hadis. Karena seandainya pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuah Hadis, niscaya peristiwa itu akan menjadi berita besar dikalangan sahabat Nabi. Merurut Abu Zahw, Hadis pada masa RasulullahSallallâhu’alaihiwasallam terpelihara dari pemalsuan. Ini karena pada zaman Nabi wahyu masih turun dan banyak diantara ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkapkan rahasia orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Karena itu mereka tidak berani membuat kebohongan pada Rasulullah Sallallâhu’alaihiwasallam dimasa beliau masih hidup.
Lebih lanjut, menurut para pakar yang melemahkan pada pendapat Ahmad Amin ini. Sabda Nabi tersebut lebih bersifat prediktif preventif. Artinya Hadis tersebut sebagaiwarning (peringatan) keras bagi siapa saja yang hendak memalsukan Hadis. Jadi jauh-jauh hari Nabi Muhammad sudah merasa khawatir akan adanya kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab yang dengan mudahnya memalsukan Hadis yang dilatar belakangi oleh berbagai kepentinganselain itu terdapat pula pemalsuan Hadits yang berkenaan dengan masalah keduniawian yang telah terjadi pada zaman Nabi dan dilakukan oleh orang munafik. Sedang pemalsuan Hadis berkenaan dengan masalah agama (amr dîny) pada zaman Nabi belum terjadi. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Shalah al-Din al-Adlabiy. al-Adlaby membedakan pengertian pembicaraan dusta atas nama Nabi dalam arti mutlak dan dalam perspektif istilah ilmu Hadis. Apa yang disebutkan pertama –menurutnya- telah terjadi pada masa Nabi, dan dilakukan oleh orang-orang munafik. Sedangkan yang disebutkan kedua diperkirakan telah terjadi di masa Khalifah Utsman bin Affan.
Namun lagi-lagi pendapat ini dianggap lemah. Sekalipun al-Adlaby memaparkan contoh Hadis yang dipalsukan pada masa Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Thahawiy dari ‘Abdullah bin Buraydah maupun yang diriwayatkan oleh al-Thabraniy dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Namun ternyata sanad-nya lemah (dla’îf). Karenanya, kedua riwayat dimaksud tidak dapat dijadikan dalil.
Selain itu adapun yang menyatakan bahwa pemalsuan Hadis muncul pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Suhbah. Beliau mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya telah melakukan pemalsuan Hadis dimasa tersebut. Pendapat ini juga disampaikan oleh Abu Zahw. Namun pendapat ini memerlukan tinjauan dan analisis historis karena tidak memberikan argumentasi yang pasti serta bukti-bukti empiris tentang pemalsuan Hadis tersebut, selain pada masa Khalifah Utsman bin Affan pemalsuan Hadis juga terdapat pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ulama Hadis. Menurut pendapat ini, keadaan Hadis di zaman Nabi sampai sebelum terjadinya pertentangan antara Ali
bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (wafat 60 H/ 680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan.
Adapun faktor-faktor penyebab munculnya hadits maudhu, meliputi:
1.   Pertentangan politik dalam soal pemilihan khalifah.
Kejadian ini timbul setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan r.a. Kemudian umat islam terpecah belah menjadi beberapa golongan. Hadits ini di buat dengan tujuan mendukung golongan tersebut. Yang pertama dan paling banyak mengeluarkan hadits maudhu adalah golongan syiah dan rafidhah. Salah satu hadits palsunya ialah :
مَنْ اَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إلَى اَدَمَ فِى عِلْمِهِ وَإِلَى نُوْحٍ فِى تَقْوَاهُ وَإِلَى إِبْرَاهِيْمَ فِي عِلْمِهِ وَإِلَى مُوْسَى فِى هَيْبَتِهِ وَإِلَى عِيْسَى فِي عِبَادَتِهِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى عَلِيِّ
“Barang siapa tyang ingin melihat Adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya, ingin melihat isa tentang ibadahnya, hendaklah melihat Ali”.
2.   Adanya kesenjangan dari pihak lain, bertujuan merusak agama islam.
Kesenjangan ini timbul dari berbagai kelompok diantaranya : yahudi, zindiq, nasrani, majusi. Mereka menciptakan hadits maudhu untuk menjatuhkan islam karena memiliki dendam yang tak bisa terbalas dengan adu fisik, atau secara langsung. Adapun salah satu contoh hadits palsu berbunyi :
النَّظْرُ إِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ عِبَادّةٌ
“Melihat (memandang) muka yang indah adalah ibadah.”
Dan beberapa tokoh yang membuat hadits maudhu adalah :
·  Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar  4.000 hadits Maudhu tentang hukum halal-haram.
·  Muhammad bin Sa’id Al-Mashubi, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mansur
·  Bayan bin Sam’an Al-Mahdi, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah
3.   Mempertahan mazhab dalam masalah fiqih dan masalah kalam.
Mereka yang fanati terhadap Madzhab Abu Hanifah yang menganggaptidak sah shalat  mengagkut kedua tangan shalat, membuat hadits Maudhu’sebagai berikut.
مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي ال صّلاَةِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ
“Barang siapa mengagkat kedua tangannya didalam shalat, tidak sah shalatnya.”
4.   Membangkitkan gairah beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tujuan mereka membuat hadits maudhu ini untuk menarik minat agar senantiasa beribadah. Nuh ibn Maryam salah satu tokoh pembuat hadits maudhu ketika ditanya mengapa membuat hadits palsu tersebut. Dia menjawab “Saya dapati manusia telah berpaling dari membaca Al-Qur’an maka saya membuat hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-qur’an.”
5.   Menjilat para penguasa untuk mencari kedudukan atau hadiah.
Adapun yang membuat hadits palsu ini mengharapkan jabatan atau hadiah setelah mereka menyebut hadits yang mereka buat untuk menyenangkan hati para penguasa.
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِيْ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menunggang kuda, atau burung yang bersayap.
3.   Dilihat dari tujuannya, terbentuknya hadits-hadits maudhu adalah sebagai berikut :
1.  Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran islam.
2.  Menguatkan pendirian atau mazhab suatu golongan tertentu.
Dilihat dari segi metode/cara yang ditempuh dalam pembuatan hadits maudhu’ adalah :
1.  Membuat perkataan yang berasal dari dirinya, kemudian diberikan sanad dan meriwayatkannya.
2.  Mengambil perkataan ahli bijak atau selain mereka kemudian meletakan sanadnya.

3.  Ciri-ciri hadits maudhu’
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapatpada sanad dan matan.
1.   Ciri-ciri yang terdapat pada sanad.
a.  Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
b.  Pengakuan dari sipembuat sendiri
Seperti pengakuan seorang guru tasawwuf, ketika ditanya oleh ibnu ismail tentang keutamaan ayat Al-Qur’an, maka dijawab:
“tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini kepadaku. Akan tetapi, kami melihat manusia membenci Al-qur’an, kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.”
c.   Kenyataan sejarah.
Mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima Hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “kapan engkau pergi keSyam?” Ma’mun menjawab, “ pada tahun 250 H.” Mendengar itu Ibnu Hibban berkata, Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”
d.    Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’.
Misalnya seperti yang dilakukan oleh Giyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung kerumah Al- Mahdi yang sedang bermain dengan burung merpati yang berkata:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung”
Ia menambahkan kata, “au janahin” (atau mengadu burung), untuk menyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata: “ aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta, atas Nama Rasulullah SAW, lalu ia memerintahkan tentang kemaudhu’an suatu Hadits.[15]
2.   Ciri-ciri yang terdapat pada matan.
a.   Keburukan susunan lafadznya.
Ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami ilmu bayan. Dengan mendalami ilmu bayan ini, kita akan merasakan susunan kata, mana yang keluar dari mulut Rasulullah SAW, dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Rasulullah SAW.
b.   Kerusakan maknanya.
1.   Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti Hadits:
Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling ka’bah dan bersembahyang dimaqam Ibrahim dua raka’at.
2.   Karena berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan, seperti Hadits:

لاَيُوْلَدُ بَعْدَ الْمِائَةِ مَوْلُوْدٌ لِلّهِ فِيْهِ حَاجَةٌ
Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.
3.   Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits:
اَلْبَاذِنْجَانُ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
Buah terong itu penawar bagi penyakit.
4.   Karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapkan akal kepada Allah. 
Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan makhluqnya. Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut ini:
إِنَّ الَّلهَ خَلَقَ الْفَرَسَ فَأَجْرَاهَا فَعَرِقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهَا مِنْهَا
Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya, maka berpeluhlah kuda itu, lalu tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.
5.   Karena menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadits yang menerangkan bahwa :
‘Auj ibnu Unuq mempunyai panjang tiga ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya dengan air bah, ia berkata: “ketika topan terjadi, air hanya sampai ketumitnya saja. Kalu mau makan, ia memasukan tangannya kedalam laut, lalu  membakar ikan yang diambilnya kepanas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.
6.   Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits:
اَلدِّيْكُ الْأَبْيَضُ حّبِيْبِيْ وحَبِيْبُ حَبِيْبِيْ
Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku jibril.
7.   Bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an, Hadits mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah. Seperti Hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَيَدْ خُلُ الجَنَّةَ إِلَى سّبْعَةِ أبْنَاءٍ
Anak zina itu tidak dpat masuk syurga sampai tujuh turunan.
Makna hadits diatas bertentangan dengan kandungan Q. S. Al-An’am : 164, yaitu:
وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى
Dan seorang yang berdosa tidak akanmemikul dosa orang lain.
Ayat diatas menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orng lain. Seorang anak sekali pun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
8.   Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil. Contohnya:

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا، كَانَ هُوَ وَمَوْلُوْدُهُ فِى الْجَنَّةِ
Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ilaha illallh) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan yang mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya
4.    Usaha Para Ulama' dalam Memberantas Hadits Palsu
Melihat munculnya Hadits-Hadits palsu, para ulama’ tidak tinggal diam. Mereka melakukan segala usaha dan upaya untuk memberantas Hadits palsu. Diantara usaha yang dilakukan para ulama’ adalah;
A.   Berpegang pada Sanad
Karena berpegang pada sanad, seorang perawi dapat mengetahui atau mengecek kembali apakah perawi sebelumya itu termasuk yang tsiqah atau tidak. Jika perawinya adalah termasuk ahlul bathil dan ahlul bid’ah atau yang dikenal sebagai orang yang tidak dapat dipercaya. Maka riwayatannya akan ditinggalkan. Sebaliknya perawi Hadits hanya akan menerima
Hadits-Hadits yang perawinya tsiqah dan terpercaya. Dalam hal ini Abdullah bin Sirrin mengatakan: ”Mulanya mereka tidak bertanya mengenai sanad, namun manakala terjadi fitnah mereka selalu menanyakan: sebutkan oleh kalian perawi-perawi kalian. Jika perawinya termasuk ahlu sunnah diterimanya Hadits. Dan jika ia temasuk ahlul bid’ah Haditsnya tidak diterima”.
B.   Ketelitian dalam Meriwayatkan Hadits
Disamping sanad, para ulama mulai zaman tabi’in hingga zaman setelah mereka sangat teliti dan hati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Hingga dari ketelitian tersebut dapat diketahui suatu Hadits maqbul atau mardud. Kemudian juga dipilah-pilah antara metode yang satu dan yang lainnya. Sehingga keotentikan Hadits tetap terpelihara hingga kini”.
C.   Memerangi Para Pendusta dan Tukang Cerita
Para ulama Hadits juga memerangi para Pendusta Hadits dan juga para tukang cerita yang dikenal gemar memasulkan Hadits dengan cara menjelaskan dan mewanti-wanti mereka agar jangan mendekati dan mendengarkan mereka. Ulama Hadits juga menerangkan Hadits-Hadits maudhu’ tersebut kepada para murid-muridnya dan mengingatkan mereka untuk tidak meriwayatkan Hadits-Hadits palsu tersebut. Diantara para ulama yang dikenal sangat ”keras” terhadap Pemalsu Hadits adalah imam Syu’bah bin Al-Hajjaj (W. 160 H), Amir al-Sya’bi (W. 103. H), Sufyan al-Tsauri (W. 161 H), Abdurrahman bin Mahdi (W. 198H).
D.   Menjelaskan ”status” perawi Hadits
Terkadang perawi Hadits harus menjelaskan mengenai keadaan perawi Hadits yang diriwayatkannya. Sejarah hidupnya, guru-gurunya, murid-muridnya, perjalanannya dalam menuntut Hadits dan lain sebagainya. Sehingga dari sini setiap perawi Hadits dapat diketahui ”statusnya”, apakah ia yang diterima sebagai perawi ini akhirnya memunculkan ilmu baru dalam Hadits, yaitu ilmu jarh wa ta’dil dan ilmu ruwatul Hadits. Dari ilmu in seseorang yang belajar Hadits akan dapat menjumpai mana Hadits yang shahih, hasan atau dhaif. Yang dhaif pun dapat diklasifikasikan apakah karena keterputusan sanad atau karena sebab lainnya. Sehingga Hadits tetap terjaga hingga sekarang ini.
E.   Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits palsu
Disamping semua usaha yang telah dilakukan oleh para ulama sebagaimana di atas, ulama Hadits juga meneliti matan yang terdapat pada Hadits-Hadits palsu tersebut. Tujuan dari penelitian itu adalah agar dibuat kaidah-kaidah atau ciri-ciri khusus yang terdapat pada Hadits-Hadits palsu, agar setiap orang dapat membedakan antara Hadits dengan Hadits palsu. Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang untuk memalsukan Hadits-Hadits Rasululloh SAW, namun Allah SWT tetap menunjukkan kepada kaum Muslimin betapa usaha mereka mendapatkan perlawanan yang hebat dari kaum Muslimin itu sendiri. Sehingga sunnah senantiasa tetap terjaga keotentikannya hingga hari ini dan Insya Allah hingga akhir zaman nanti. Barangkali inilah yang telah Allah janjikan dalam kitabnya. 61:8. Artinya: ”Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya_Nya meskipun orang-orang kafir benci”.
Namun sebagai hamba-hamba Allah dan juga sebagai pengikut setia Rasululloh SAW, seharusnya generasi-generasi sekarang ini juga memahami dan tetap mewaspadai akan munculnya Hadits-Hadits palsu, yang tidak mustahil juga akan bermunculan pada era-era ini. Atau paling tidak dapat menjelaskan ke masyarakat mengenai Hadits-Hadits palsu yang beredar di masyarakat dengan sangat Masyhur, sementara mereka sendiri tidak mengetahui kepalsuan Hadits tersebut. Semoga Allah melimpahkan pahalanya kepada para ulama’ yang telah mengerahkan segala tenaga dan fikirnannya untuk ”menyelamatkan” sunnah dari tangan-tangan jahil yang akan merusaknya. Dan semoga kita dapat mengikuti langkah kaki mereka menuju keridhoan Allah SWT.
F.    Mengisnadkan hadits
Muhammad bin Siririn(seorang tabi’iy yang lahir tahun 33 H). Menceritakan: “bahwa para sahabat semula dalam menerima hadits tidak selalu menanyakan sanadnya, akan tetapi setelah menjadi fitnah, mereka pada meminta untuk disebutkan sanadnya, akan tetapi  setlah menjadi fitnah, meraka pada diminta untuk disebutkan sanadnya, ditelitinya kalau sanadnya itu terdiri dari akhir sunnah, diambilnya dan kalau terdiri dari ahli bid’ah, ditolaknya.”
G.   Meningkatkan perlawatan mencari hadits
Abu’aliyah mengatakan bahwa ia tidak rela kalau mendengar hadits dari sahabat rasulullah saw. Yang berada di badrah, sekiranya ia tidak pergi ke madinah untuk mendengarkan hadits tersebut dari para sahabat yang berada di sana, demikian juga para sahabat yang mengadakan perlawanan mencari hadits tersebut dari para sahabat yang berada diluar daerahnya, misalnya sahabat ayyub menemui sahabat ‘uqbah bin amir di mesir untuk mencari suatu hadits”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar