Hadits Maudhu
Bandung, 23 Februari 2015
Penulis: Firdaus Akmal Azam
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam. Allah menitipkan segala sesuatu
ilmu di dalamnya dan menjelaskan jalan yang benar dari pada yang sesat. Akan
tetapi sering sekali isi Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang bersifat mujmal
tidak mufashal. Contohnya perintah shalat, Alqur’an membawanya secara mujmal,
tidak menerangkan bilangan rakaatnya, tidak menerangkan syarat, dan rukunnya.
Oleh karena itu, salah satu kehadiran hadits berfungsi sebagai bayan tafsir
terhadap ayat-ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits, umat Islam tidak mampu
menangkap atau merealisaiksan hukum-hukum yang terkandung dalam Al-qur’an
secara mendalam. Ini menunjukkan hadits, menduduki posisi yang sangat penting
dalam literatur sumber hukum Islam.
Meskipun mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar sebagai sumber ajaran
setelah Al-Qur’an, namun sebagaimana pada awal Islam diperintahkan oleh Nabi,
hadits tersebut untuk dihafal dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya, tidak
menyelenggarakan penulisan secara resmi seperti penulisan Al-Qur’an, kecuali
penulisan secara perorangan. Pembukuan resmi hadits-hadits Nabi, baru
dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui perintahnya kepada
gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm tahun 100 H.
Kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasull SAW dengan waktu pembukuan hadits
merupakan kesempatan bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk melakukan
pemalsuan hadits dengan motif tertentu dan mengatas namakan Rasull SAW yang
padahal beliau tidak pernah mengatakan atau melakukan.
Tulisan “ Hadits
Maudhu” ini akan membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan hadits
palsu atau hadits Maudhu seperti pengertian, sejarah, ciri-ciri dan
cara ulama memberantas hadits maudhu.
1. Pengertian Hadits Maudhu
Secara lughah (bahasa), Hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul
dari wadha’a-yadha’u yang memiliki beberapa makna, antara lain menggugurkan,
meninggalkan, dan mengada-adakan (Muhammad ajjaz al-khatib, 2003 : 352). Adapun
pengertian hadits maudhu ‘menurut istilah para muhaditsin adalah “sesuatu yang
dinisbatkan kepada Rosulallah Saw secara mengada-mengada dan dusta, yang tidak
beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun taqrirkan”.
Dari pengertian tersebut, kita dapat
memahami bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
nabi Muhammad Saw., baik perbuatan, perkataan, maupun taqrir-nya, secara rekaan
atau dusta semata-mata. Jadi, sebenarnya, hadits maudhu’ bukan hadits. Dalam
penggunaan masyarakat islam, hadits maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu
(Abdul Fatah Gaudha, 2000:41)
Definisi lain tentang hadits maudhu’ adalah
“hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang (pendusta), yang ciptaan itu
dibangsakan kepada Rosulullah Saw. Secara palsu dan dusta, baik hal itu
disengaja, maupun tidak”.(Muhammad Abu Rayyah, 1999 : 199)
Dalam definisi yang relative sama tentang
hadits maudhu’ yaitu:
1. Menurut
bahasa: merupakan isim maf’ul dari kata wadla’a assyaia, berarti menurunkanya
derajatnya.
2. Menurut
istilah: Dusta yang dibuat-buat dan direkayasa, kemudian dinisbahkan kepada
Rosulallah Saw.
Kata-kata
yang biasa dipakai untuk hadits maudhu’, adalah al-mukthtalaqu, al-muhtala’u,
dan al-makdzub. Kata tersebut memilki arti yang hampir sama. Pemakaian
kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid) bahwa hadits semacam ini
semata-mata dusta atas nama Rosulallah Saw. (Utang Ranuwijaya,1996:189)
Dalam
referensi lain dikemukakan, pengertian hadits maudhu’ menurut lughat adalah
suatu hadits yang diada-adakan orang atas nama Nabi Muhammad Saw. Dengan
sengaja atau tidak disengaja. Secara terminologi, menurut ulama hadits bahwa
hadits maudhu’ adalah sesuatu yang dinisbatkan Rosulallah Saw. Secara
mengada-ada dan dusta, dan beliau tidak menyabdakan atau mengerjakan atau
men-taqrir-kan. Dengan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hadits maudhu’
itu sebenarnya bukan hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw. (bukan
hadits Nabi), hanya disandarkan kepada Nabi. (Abdul Qadir Hasan,2002:120).
Hadits
maudhu’ berasal dari kata dari dua suku kata bahasa Arab yaitu al-hadits dan
al-maudhu’. Al-hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti
baru (al-jadid) dan cerita (al-khabar). Kata al-maudhu’, dari sudut bahasa
berasal dari kata wadha’a -yadha’u - wadha’n wa maudhu’an – yang memilki beberapa
arti antara lain telah menggurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan,
merendahkan, membuat, menanggalkan, menurunkan dan lain-lainya. Arti yang
paling tepat disandarkan pada kata al-maudhu’ supaya menghasilkan makna yang
dikehendaki yaitu telah membuat. Oleh karena itu maudhu’ (di atas timbangan
isim maf’ul- benda yang dikenai perbuatan) mempunyai arti yang dibuat.
Berdasarkan
pengertian al-Hadits dan Al-maudhu’ ini, dapat disimpulkan bahwa definisi
hadits maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik
perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta. Lebih tepat lagi
ulama hadits mendefinisikanya sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari
Nabi Muhammad Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi
disandarkan kepada beliau secara sengaja.
Jika dianalisis,
berbagai definisi diatas menyiratkan hal sama, bahwa hadits maudhu’ adalah
suatu hadits rekaan, ciptaan, yang kualitasnya sangat rendah. Semua itu
disandarkan kepada Nabi. Padahal Nabi Saw tidak pernah menyampaikanya dalam
hadits –hadits yang sebenarnya. Jadi, sesungguhnya hadits palsu bukanlah hadits
yang bersumber dari Nabi Saw. Hadits palsu merupakan kebohongan yang
dibuat-buat dan terancam dengan ancaman neraka, sebagaimana hadits Nabi Saw.
Dalam Referensi lain
juga disebutkan secara bahasa, kata mawdhu’ berarti sesuatu yang digugurkan
(al-masqath), yang ditinggalkan (al-matruk), dan diada-adakan (al-muftard).
Menurut istilah, hadis mawdhu’ adalah
pernyataan yang dibuat oleh seseorang kemudian dinisbahkan pada Nabi SAW. Hadis
mawdhu’ itu dicipta dan dibuat-buat, kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah SAW
secara palsu dan dusta baik secara sengaja maupun tidak. Dengan kata lain,
hadis mawdhu’ dibuat dan dinisbahkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau
tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun.
ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و السلام
إختلافا و كذبا ممّا لم يقله أويقره
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah
secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya.
Dr. Mahmud Thahan
didalam kitabnya mengatakan,
اذا كان سبب الطعن فى الروى هو الكذ ب على
رسول الله فحد يثه يسمى الموضع
Apabila sebab keadaan cacatnya rowi dia
berdusta terhadap Rasulullah, maka haditsnya dinamakan maudhu’. ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)
Dan pengertiannya
secara istilah beliau mengatakan
هو الكذب المختلق المنصوع المنسوب الى رسول
الله صلى الله عليه والسلام
Hadits yang dibuat oleh seorang pendusta
yang dibangsakan kepada Rasulullah[1].
Ulama berbeda pendapat
tentang sengaja atau tidaknya pembuatan hadis itu. Umar ibn Hasan, Utsman Fallatah dan Mahmud Abu
Rayyah menyatakan bahwa hadis mawdhu itu dibuat baik dengan sengaja ataupun
tidak. Abu Bakar Abd al-Shamad Abid, dan Ibn Taymiyyah seperti dikutip Umar ibn
Hasan Utsman Fallatah mengemukakan bahwa hadis mawdhu’ adalah hadis yang dibuat
dengan sengaja dan kalau tidak, bukan palsu[2].
2. Sejarah
Munculnya Hadits Maudhu
Secara historis,
sepeninggal Nabi Saw, di kalangan masyarakat muslim terjadi perpecahan.
Perpecahan kaum muslimin menjadi beberapa kelompok terutama terjadi setelah
fitnah besar, yakni masa setelah terbunuhnya Ustman bin Affan. Hal ini
menjadikan setiap kelompok mencari dukungan dan sumber rujukan dari Al-Quran
dan As-sunah. Sebagian kelompok men-takwil-kan hadits mereka menisbatkan kepada
Nabi. Apalgi tentang keutamaan para imam mereka. Dan kelompok yang pertama
melakukan hal itu adalah Syi’ah. Hal ini tidak pernah terjadi pada masa
Rosulallah dan tidak pernah dilakukan seorang sahabat pun. Apabila diantara
mereka berselisih mereka ber-ijtihad, dengan mengedepankan mencari kebenaran.
Tahap penyebaran
hadits-hadits maudhu’ pada zaman tersebut masih sedikit disbanding zaman-zaman
berikutnya. Ini karena masih banyak para tabiin yang menjaga hadits-hadits dan
menjelaskan mana yang lemah dan mana yang shahih. Ini juga karena zaman mereka
masih dianggap hamper sama dengan zaman Nabi Saw dan disebut oleh beliau sebagai
diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-pengajaran serta wasiat dari Nabi masih
segar dikalangan para tabiin yang menyebabkan mereka dapat mengetahui kepalsuan
sebuah hadits, hadits Nabi yang belum
terhimpun dan terkodifikasi dalam satu kitab, dan kedudukannya yang sangat
penting dalam kontruksi ajaran Islam merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan Hadis banyak dipalsukan dan ini telah dimanfaatkan secara tidak
bertanggung jawab oleh orang-orang tertentu. Sedangkan kapan muncul pemalsuan
Hadis terdapat perdebatan tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan Hadis, pemalsuan
Hadis telah terjadi dizaman Nabi. Pendapat ini antara lain yang dikemukakan
oleh Ahmad Amin (w. 1337 H /1954 M). Alasan yang dikemukakan olehnya ialah
Hadis mutawatir yang artinya:
“barang siapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat
duduknya (bagiannya) di neraka” (Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam al-Bukahri, Muslim, dan lain-lain)
Menurutnya, isi Hadis
tersebut telah memberikan suatu gambaran, bahwa kemungkian besar pada zaman
Nabi telah terjadi pemalsuan Hadis. Menurutnya, sabda Nabi tersebut bersifat
responsif. Maksudnya, ultimatum tersebut muncul sebagai respon atas suatu
kejadian yang telah terjadi, yaitu adanya pemalsuan Hadis. Namun ia tidak
memberikan bukti-bukti kuat tentang pendapatnya itu, misalnya contoh Hadis
palsu yang telah terjadi pada masa Nabi. Dia menyandarkan pendapatnya hanya
pada praduga yang tersirat (mafhum) dalam sabda Nabi diatas.
Pendapat Ahmad Amin
tersebut dinilai lemah oleh sejumlah pakar Hadis, karena pendapat ini tidak
didasarkan pada fakta empiris. Hadis yang dikemukakan oleh Ahmad Amin memang
berkualitas mutawatir dan sudah pasti mempunyai bobot akurasi tinggi (qat’î)
dan pasti benar. Akan tetapi Hadis tersebut tidak cukup kuat untuk
dijadikan argumen bahwa pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuan Hadis. Karena
seandainya pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuah Hadis, niscaya peristiwa itu
akan menjadi berita besar dikalangan sahabat Nabi. Merurut Abu Zahw, Hadis pada
masa RasulullahSallallâhu’alaihiwasallam terpelihara dari pemalsuan. Ini
karena pada zaman Nabi wahyu masih turun dan banyak diantara ayat-ayat
al-Qur’an yang mengungkapkan rahasia orang-orang munafik dan orang-orang kafir.
Karena itu mereka tidak berani membuat kebohongan pada Rasulullah Sallallâhu’alaihiwasallam dimasa
beliau masih hidup.
Lebih lanjut, menurut
para pakar yang melemahkan pada pendapat Ahmad Amin ini. Sabda Nabi tersebut
lebih bersifat prediktif preventif. Artinya Hadis tersebut
sebagaiwarning (peringatan) keras bagi siapa saja yang hendak memalsukan
Hadis. Jadi jauh-jauh hari Nabi Muhammad sudah merasa khawatir akan adanya
kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab yang dengan mudahnya memalsukan
Hadis yang dilatar belakangi oleh berbagai kepentinganselain itu terdapat pula
pemalsuan Hadits yang berkenaan dengan masalah keduniawian yang telah terjadi
pada zaman Nabi dan dilakukan oleh orang munafik. Sedang pemalsuan Hadis
berkenaan dengan masalah agama (amr dîny) pada zaman Nabi belum terjadi.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Shalah al-Din al-Adlabiy. al-Adlaby
membedakan pengertian pembicaraan dusta atas nama Nabi dalam arti mutlak
dan dalam perspektif istilah ilmu Hadis. Apa yang disebutkan pertama –menurutnya-
telah terjadi pada masa Nabi, dan dilakukan oleh orang-orang munafik. Sedangkan
yang disebutkan kedua diperkirakan telah terjadi di masa Khalifah Utsman
bin Affan.
Namun lagi-lagi
pendapat ini dianggap lemah. Sekalipun al-Adlaby memaparkan contoh Hadis yang
dipalsukan pada masa Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Thahawiy dari
‘Abdullah bin Buraydah maupun yang diriwayatkan oleh al-Thabraniy dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Namun ternyata sanad-nya lemah (dla’îf).
Karenanya, kedua riwayat dimaksud tidak dapat dijadikan dalil.
Selain itu adapun yang menyatakan
bahwa pemalsuan Hadis muncul pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Pendapat ini
dikemukakan oleh Abu Suhbah. Beliau mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ dan
pengikutnya telah melakukan pemalsuan Hadis dimasa tersebut. Pendapat ini juga
disampaikan oleh Abu Zahw. Namun pendapat ini memerlukan tinjauan dan analisis
historis karena tidak memberikan argumentasi yang pasti serta bukti-bukti
empiris tentang pemalsuan Hadis tersebut, selain pada masa Khalifah Utsman bin
Affan pemalsuan Hadis juga terdapat pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Pendapat ini
dikemukakan oleh mayoritas ulama Hadis. Menurut pendapat ini, keadaan Hadis di
zaman Nabi sampai sebelum terjadinya pertentangan antara Ali
bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan (wafat 60 H/ 680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan.
Adapun faktor-faktor penyebab munculnya hadits
maudhu, meliputi:
1. Pertentangan
politik dalam soal pemilihan khalifah.
Kejadian ini timbul setelah terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan r.a. Kemudian umat islam terpecah belah menjadi
beberapa golongan. Hadits ini di buat dengan tujuan mendukung golongan
tersebut. Yang pertama dan paling banyak mengeluarkan hadits maudhu adalah
golongan syiah dan rafidhah. Salah satu hadits palsunya ialah :
مَنْ اَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إلَى اَدَمَ
فِى عِلْمِهِ وَإِلَى نُوْحٍ فِى تَقْوَاهُ وَإِلَى إِبْرَاهِيْمَ فِي عِلْمِهِ
وَإِلَى مُوْسَى فِى هَيْبَتِهِ وَإِلَى عِيْسَى فِي عِبَادَتِهِ فَلْيَنْظُرْ
إِلَى عَلِيِّ
“Barang siapa tyang ingin melihat Adam tentang ketinggian ilmunya,
ingin melihat Nuh tentang ketakwaannya, ingin melihat Ibrahim tentang kebaikan
hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya, ingin melihat isa tentang
ibadahnya, hendaklah melihat Ali”.
2. Adanya
kesenjangan dari pihak lain, bertujuan merusak agama islam.
Kesenjangan
ini timbul dari berbagai kelompok diantaranya : yahudi, zindiq, nasrani,
majusi. Mereka menciptakan hadits maudhu untuk menjatuhkan islam karena
memiliki dendam yang tak bisa terbalas dengan adu fisik, atau secara langsung.
Adapun salah satu contoh hadits palsu berbunyi :
النَّظْرُ إِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ
عِبَادّةٌ
“Melihat (memandang) muka yang indah
adalah ibadah.”
Dan beberapa tokoh yang membuat hadits
maudhu adalah :
· Abdul
Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar
4.000 hadits Maudhu tentang hukum halal-haram.
· Muhammad
bin Sa’id Al-Mashubi, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mansur
· Bayan bin
Sam’an Al-Mahdi, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah
3. Mempertahan
mazhab dalam masalah fiqih dan masalah kalam.
Mereka
yang fanati terhadap Madzhab Abu Hanifah yang menganggaptidak sah shalat mengagkut kedua tangan shalat, membuat hadits
Maudhu’sebagai berikut.
مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي ال صّلاَةِ فَلاَ
صَلاَةَ لَهُ
“Barang siapa mengagkat kedua tangannya didalam
shalat, tidak sah shalatnya.”
4. Membangkitkan
gairah beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tujuan mereka membuat hadits maudhu ini
untuk menarik minat agar senantiasa beribadah. Nuh ibn Maryam salah satu tokoh
pembuat hadits maudhu ketika ditanya mengapa membuat hadits palsu tersebut. Dia
menjawab “Saya dapati manusia telah berpaling dari membaca Al-Qur’an maka saya
membuat hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-qur’an.”
5. Menjilat
para penguasa untuk mencari kedudukan atau hadiah.
Adapun yang membuat hadits palsu ini
mengharapkan jabatan atau hadiah setelah mereka menyebut hadits yang mereka
buat untuk menyenangkan hati para penguasa.
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِيْ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ
أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
Tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak
panah, ketangkasan, menunggang kuda, atau burung yang bersayap.
3. Dilihat
dari tujuannya, terbentuknya hadits-hadits maudhu adalah sebagai berikut :
1. Adanya
kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran islam.
2. Menguatkan
pendirian atau mazhab suatu golongan tertentu.
Dilihat
dari segi metode/cara yang ditempuh dalam pembuatan hadits maudhu’ adalah :
1. Membuat
perkataan yang berasal dari dirinya, kemudian diberikan sanad dan
meriwayatkannya.
2. Mengambil
perkataan ahli bijak atau selain mereka kemudian meletakan sanadnya.
3. Ciri-ciri
hadits maudhu’
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat
pada ciri-ciri yang terdapatpada sanad dan matan.
1. Ciri-ciri
yang terdapat pada sanad.
a. Rawi
tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang
terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
b. Pengakuan
dari sipembuat sendiri
Seperti pengakuan seorang guru tasawwuf, ketika
ditanya oleh ibnu ismail tentang keutamaan ayat Al-Qur’an, maka dijawab:
“tidak seorang pun yang meriwayatkan hadits ini
kepadaku. Akan tetapi, kami melihat manusia membenci Al-qur’an, kami ciptakan
untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka
menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.”
c. Kenyataan
sejarah.
Mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada
pengakuan seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia
tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut
meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima
Hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “kapan
engkau pergi keSyam?” Ma’mun menjawab, “ pada tahun 250 H.” Mendengar itu Ibnu
Hibban berkata, Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H.”
d. Keadaan
rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’.
Misalnya seperti yang dilakukan oleh Giyats bin
Ibrahim, kala ia berkunjung kerumah Al- Mahdi yang sedang bermain dengan burung
merpati yang berkata:
لاَ سَبَقَ
إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu
anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung”
Ia menambahkan kata, “au janahin” (atau mengadu
burung), untuk menyenagkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu
dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata: “ aku bersaksi bahwa tengkukmu
adalah tengkuk pendusta, atas Nama Rasulullah SAW, lalu ia memerintahkan
tentang kemaudhu’an suatu Hadits.[15]
2. Ciri-ciri
yang terdapat pada matan.
a. Keburukan
susunan lafadznya.
Ciri ini akan diketahui setelah kita mendalami
ilmu bayan. Dengan mendalami ilmu bayan ini, kita akan merasakan susunan kata,
mana yang keluar dari mulut Rasulullah SAW, dan mana yang tidak mungkin keluar
dari mulut Rasulullah SAW.
b. Kerusakan
maknanya.
1. Karena
berlawanan dengan akal sehat, seperti Hadits:
Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali
keliling ka’bah dan bersembahyang dimaqam Ibrahim dua raka’at.
2. Karena
berlawanan dengan hukum akhlak yang umum, atau menyalahi kenyataan, seperti
Hadits:
لاَيُوْلَدُ
بَعْدَ الْمِائَةِ مَوْلُوْدٌ لِلّهِ فِيْهِ حَاجَةٌ
Tiada dilahirkan
seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah.
3. Karena
bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti hadits:
اَلْبَاذِنْجَانُ
شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
Buah terong itu
penawar bagi penyakit.
4. Karena
menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapkan akal kepada
Allah.
Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa
dengan makhluqnya. Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut ini:
إِنَّ الَّلهَ
خَلَقَ الْفَرَسَ فَأَجْرَاهَا فَعَرِقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهَا مِنْهَا
Sesungguhnya Allah
menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya, maka berpeluhlah kuda itu, lalu
tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu.
5. Karena
menyalahi hukum-hukum Allah dalam menciptakan alam, seperti hadits yang
menerangkan bahwa :
‘Auj ibnu Unuq
mempunyai panjang tiga ratus hasta. Ketika Nuh menakutinya dengan air bah, ia
berkata: “ketika topan terjadi, air hanya sampai ketumitnya saja. Kalu mau
makan, ia memasukan tangannya kedalam laut, lalu membakar ikan yang diambilnya kepanas
matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.
6. Karena
mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti hadits:
اَلدِّيْكُ الْأَبْيَضُ
حّبِيْبِيْ وحَبِيْبُ حَبِيْبِيْ
Ayam putih kekasihku
dan kekasih dari kekasihku jibril.
7. Bertentangan
dengan keterangan Al-Qur’an, Hadits mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah.
Seperti Hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَيَدْ خُلُ الجَنَّةَ
إِلَى سّبْعَةِ أبْنَاءٍ
Anak zina itu tidak dpat masuk syurga
sampai tujuh turunan.
Makna hadits diatas bertentangan dengan
kandungan Q. S. Al-An’am : 164, yaitu:
وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَأُخْرَى
Dan seorang yang berdosa tidak
akanmemikul dosa orang lain.
Ayat diatas menjelaskan bahwa dosa seseorang
tidak dapat dibebankan kepada orng lain. Seorang anak sekali pun tidak dapat
dibebani dosa orang tuanya.
8. Menerangkan
suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil,
atau siksa yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil. Contohnya:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا، كَانَ هُوَ وَمَوْلُوْدُهُ فِى الْجَنَّةِ
Barangsiapa mengucapkan tahlil (la ilaha
illallh) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai
70.000 lisan, dan setiap lisan yang mempunyai 70.000 bahasa yang dapat
memintakan ampun kepadanya
4. Usaha Para Ulama' dalam Memberantas Hadits
Palsu
Melihat munculnya
Hadits-Hadits palsu, para ulama’ tidak tinggal diam. Mereka melakukan segala
usaha dan upaya untuk memberantas Hadits palsu. Diantara usaha yang dilakukan
para ulama’ adalah;
A. Berpegang pada Sanad
Karena berpegang pada
sanad, seorang perawi dapat mengetahui atau mengecek kembali apakah perawi
sebelumya itu termasuk yang tsiqah atau tidak. Jika perawinya adalah termasuk
ahlul bathil dan ahlul bid’ah atau yang dikenal sebagai orang yang tidak dapat
dipercaya. Maka riwayatannya akan ditinggalkan. Sebaliknya perawi Hadits hanya
akan menerima
Hadits-Hadits yang perawinya tsiqah dan
terpercaya. Dalam hal ini Abdullah bin Sirrin mengatakan: ”Mulanya mereka tidak
bertanya mengenai sanad, namun manakala terjadi fitnah mereka selalu
menanyakan: sebutkan oleh kalian perawi-perawi kalian. Jika perawinya termasuk
ahlu sunnah diterimanya Hadits. Dan jika ia temasuk ahlul bid’ah Haditsnya
tidak diterima”.
B. Ketelitian dalam Meriwayatkan Hadits
Disamping sanad, para
ulama mulai zaman tabi’in hingga zaman setelah mereka sangat teliti dan
hati-hati dalam meriwayatkan Hadits. Hingga dari ketelitian tersebut dapat
diketahui suatu Hadits maqbul atau mardud. Kemudian juga dipilah-pilah antara
metode yang satu dan yang lainnya. Sehingga keotentikan Hadits tetap
terpelihara hingga kini”.
C. Memerangi Para Pendusta dan Tukang Cerita
Para ulama Hadits juga
memerangi para Pendusta Hadits dan juga para tukang cerita yang dikenal gemar
memasulkan Hadits dengan cara menjelaskan dan mewanti-wanti mereka agar jangan
mendekati dan mendengarkan mereka. Ulama Hadits juga menerangkan Hadits-Hadits maudhu’
tersebut kepada para murid-muridnya dan mengingatkan mereka untuk tidak
meriwayatkan Hadits-Hadits palsu tersebut. Diantara para ulama yang dikenal
sangat ”keras” terhadap Pemalsu Hadits adalah imam Syu’bah bin Al-Hajjaj (W.
160 H), Amir al-Sya’bi (W. 103. H), Sufyan al-Tsauri (W. 161 H), Abdurrahman
bin Mahdi (W. 198H).
D. Menjelaskan ”status” perawi Hadits
Terkadang perawi Hadits
harus menjelaskan mengenai keadaan perawi Hadits yang diriwayatkannya. Sejarah
hidupnya, guru-gurunya, murid-muridnya, perjalanannya dalam menuntut Hadits dan
lain sebagainya. Sehingga dari sini setiap perawi Hadits dapat diketahui
”statusnya”, apakah ia yang diterima sebagai perawi ini akhirnya memunculkan
ilmu baru dalam Hadits, yaitu ilmu jarh wa ta’dil dan ilmu ruwatul Hadits. Dari
ilmu in seseorang yang belajar Hadits akan dapat menjumpai mana Hadits yang
shahih, hasan atau dhaif. Yang dhaif pun dapat diklasifikasikan apakah karena
keterputusan sanad atau karena sebab lainnya. Sehingga Hadits tetap terjaga
hingga sekarang ini.
E. Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits palsu
Disamping semua usaha
yang telah dilakukan oleh para ulama sebagaimana di atas, ulama Hadits juga
meneliti matan yang terdapat pada Hadits-Hadits palsu tersebut. Tujuan dari
penelitian itu adalah agar dibuat kaidah-kaidah atau ciri-ciri khusus yang
terdapat pada Hadits-Hadits palsu, agar setiap orang dapat membedakan antara
Hadits dengan Hadits palsu. Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang untuk
memalsukan Hadits-Hadits Rasululloh SAW, namun Allah SWT tetap menunjukkan
kepada kaum Muslimin betapa usaha mereka mendapatkan perlawanan yang hebat dari
kaum Muslimin itu sendiri. Sehingga sunnah senantiasa tetap terjaga
keotentikannya hingga hari ini dan Insya Allah hingga akhir zaman nanti.
Barangkali inilah yang telah Allah janjikan dalam kitabnya. 61:8. Artinya: ”Mereka
ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya_Nya meskipun orang-orang kafir
benci”.
Namun sebagai hamba-hamba Allah dan juga
sebagai pengikut setia Rasululloh SAW, seharusnya generasi-generasi sekarang
ini juga memahami dan tetap mewaspadai akan munculnya Hadits-Hadits palsu, yang
tidak mustahil juga akan bermunculan pada era-era ini. Atau paling tidak dapat
menjelaskan ke masyarakat mengenai Hadits-Hadits palsu yang beredar di
masyarakat dengan sangat Masyhur, sementara mereka sendiri tidak mengetahui
kepalsuan Hadits tersebut. Semoga Allah melimpahkan pahalanya kepada para
ulama’ yang telah mengerahkan segala tenaga dan fikirnannya untuk
”menyelamatkan” sunnah dari tangan-tangan jahil yang akan merusaknya. Dan
semoga kita dapat mengikuti langkah kaki mereka menuju keridhoan Allah SWT.
F. Mengisnadkan hadits
Muhammad
bin Siririn(seorang tabi’iy yang lahir tahun 33 H). Menceritakan: “bahwa para
sahabat semula dalam menerima hadits tidak selalu menanyakan sanadnya, akan
tetapi setelah menjadi fitnah, mereka pada meminta untuk disebutkan sanadnya,
akan tetapi setlah menjadi fitnah, meraka
pada diminta untuk disebutkan sanadnya, ditelitinya kalau sanadnya itu terdiri
dari akhir sunnah, diambilnya dan kalau terdiri dari ahli bid’ah, ditolaknya.”
G. Meningkatkan perlawatan mencari hadits
Abu’aliyah
mengatakan bahwa ia tidak rela kalau mendengar hadits dari sahabat rasulullah
saw. Yang berada di badrah, sekiranya ia tidak pergi ke madinah untuk
mendengarkan hadits tersebut dari para sahabat yang berada di sana, demikian
juga para sahabat yang mengadakan perlawanan mencari hadits tersebut dari para
sahabat yang berada diluar daerahnya, misalnya sahabat ayyub menemui sahabat
‘uqbah bin amir di mesir untuk mencari suatu hadits”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar